HUKUM PERDATA YANG BERLAKU DI INDONESIA, HUKUM PERIKATAN & HUKUM PERJANJIAN
HUKUM PERDATA YANG
BERLAKU DI INDONESIA
Hukum
perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku
di Indonesia. Hukum perdata di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda)
yang berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt), yang didalam
bahasa aslinya disebut dengan Burgenjik Wetboek. Burgenjik Wetboek ini berlaku
di Hindia Belanda.
1.
Hukum Perdata Yang Berlaku Di
Indonesia
Hukum perdata yang berlaku di
Indonesia meliputi hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. Hukum perdata
nasional adalah hukum perdata yang diciptakan olehh pemerintah Indonesia yang
sah dan berdaulat. Adapun kriteria hukum perdata yang dikatakan nasional yaitu
:
a. Berasal dari
hukum perdata Indonesia
b. Berdasarkan
sistem nilai budaya
c. Produk hukum
pembentukan Undang-undang Indonesia
d. Berlaku
untuk semua warga negara Indonesia
e. Berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia
Hukum perdata itu sendiri merupakan
aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang lain
yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan masyarakat
atau pergaulan keluarga.
2.
Sejarah Singkat Hukum Perdata
a. Hukum
Perdata Belanda
Hukum perdata Belanda berasal dari
hukum perdata Prancis yang berinduk pada Code Civil Prancis pada zaman
pemerintahan Napoleon Bonaparte. Perancis pernah menjajah Belanda dan Code
Civil diberlakukan pula di Belanda. Kemudian setelah Belanda merdeka dari
kekuasaan Prancis, Belanda menginginkan pembentukan kitab undang-undang hukum
perdata sendiri yang lepas dari pengaruh kekuasaan Perancis.
Keinginan Belanda tersebut
direalisasikan dengan pembentukan kodifikasi hukum perdata Belanda. Pembuatan
kodifikasi tersebut selesai pada tanggal 5 Juli 1830 dan direncanakan akan diberlakukan
pada tanggal 1 Februari 1831. Tetapi, pada bulan Agustus 1830 terjadi
pemberontakan di daerah bagian selatan kerajaan Belanda yang memisahkan diri
dari kerajaan Belanda yang sekarang disebut Belgia. Karena pemisahan Belgia ini
berlakunya kodifikasi ditangguhkan dan baru terlaksana pada tanggal 1 Oktober
1938.
Meskipun hukum perdata Belanda itu
adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian besar
serupa dengan Code Civil Prancis. Menurut Prof. Mr. J. Van Kan, B. W. adalah sutradara
dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Prancis ke dalam bahasa
nasional Belanda.
b. Hukum
Perdata Indonesia
Karena Belanda pernah menjajah
Indonesia, maka hukum perdata Belanda ini diusahakan supaya dapat diberlakukan
pula di Hindia Belanda pada waktu itu. Caranya ialah dibentuk hukum perdata
Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan hukum perdata Belanda.
Dengan kata lain, hukum perdata Belanda diberlakukan juga di Hindia Belanda
berdasarkan asas konkordansi (persamaan) hukum perdata Hindia Belanda ini
disahkan oleh Raja pada tanggal 16 Mei 1846 yang diundangkan dalam staatsbald
1847-23 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. Setelah Indonesia
merdeka, berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 maka hukum perdata Hindia
Belanda dinyatakan berlaku sebelum digantian oleh undang-undang baru
berdasarkan undang-undang dasar ini. Hukum perdata Hindia Belanda ini disebut
kitab undang-undang hukum perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata
Indonesia.
3.
Pengertian & Keadaan Hukum Di
Indonesia
a.
Pengertian Hukum Perdata
Hukum perdata adalah hukum yang
mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam
arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai
lawan dari hukum pidana.
Pengertian hukum privat (hukum
perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur
hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari
masing-masing orang yang bersangkutan.
Selain ada hukum privat materil, ada
juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata)
atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang
mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan
perdata.
b. Keadaan
Hukum di Indonesia
Mengenai keadaan hukum perdata di
Indonesia sekarang ini masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka ragam.
Faktor yang mempengaruhinya antara lain :
1) Faktor
etnis
2) Faktor
hysteria yuridis yang dapat kita lihat pada pasal 163 I.S yang membagi penduduk
Indonesia dalam 3 golongan, yaitu :
a) Golongan
eropa
b) Golongan
bumi putera (pribumi/bangsa Indonesia asli)
c) Golongan
timur asing (bangsa cina, India, arab)
Untuk golongan warga Negara bukan
asli yang bukan berasal dari tionghoa atau eropa berlaku sebagian dari BW yaitu
hanya bagian-bagian yang mengenai hukum-hukum kekayaan harta benda, jadi tidak
mengenai hukum kepribadian dan kekeluargaan maupun yang mengenai hukum warisan.
Pedoman politik bagi pemerintahan
hindia belanda terhadap hukum di Indonesia ditulis dalam pasal 131, I.S yang
sebelumnya terdapat pada pasal 75 RR (Regeringsreglement) yang pokok-pokonya
sebagai berikut :
1) Hukum
perdata dan dagang (begitu pula hukum pidana beserta hukum acara perdata dan
hukum acara pidana harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu di
kodifikasi).
2) Untuk
golongan bangsa eropa harus dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri
belanda (sesuai azas konkordasi).
3) Untuk
golongan bangsa Indonesia dan timur asing jika ternyata kebutuhan
kemasyarakatan mereka menghendakinya.
4) Orang
Indonesia asli dan timur asinng, selama mereka belum ditundukkan di bawah suatu
peraturan bersama dengan suatu bangsa eropa.
5) Sebelumnya
hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka bagi mereka hukum
yang berlaku adalah hukum adat.
4.
Sistematika Hukum Perdata Di
Indonesia
Sistematika hukum perdata di Indonesia ada 2 pendapat, yaitu:
1) Berlaku
Undang-undang
a. Buku I
: Berisi mengenai orang
b. Buku II
: Berisi mengenai benda
c. Buku III
: Berisi mengenai perikatan
d. Buku IV
: Berisi mengenai pembuktian
2) lmu Hukum
atau Doktrin
a. Hukum
Tentang Diri Seseorang (Pribadi)
Mengatur
tentang manusia sebagai subyek hukum, mengatur tentang perihal kecakapan untuk
memiliki hak-hak dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-hak itu
dan selanjutnya tentang hal-hal yang mempengaruhi kecakapan itu.
b. Hukum
Kekeluargaan
Mengatur perihal hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu:
Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
Perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum kekayaan antara suami dengan istri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan curatele.
c. Hukum
Kekayaan
Mengatur hubungan hukum yang dapat
dinilai dengan uang. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang
dapat terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan
kekuasaan atas suatu benda yang dapat terlihat.
1. Hak
seorang pengarang atas karangannya
2. Hak
seseorang atas suatu pendapat dalam lapangan Ilmu Pengetahuan atau hak pedagang
untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
3. Hak
Warisan yang mengatur
tentang benda atau kekayaan seseorang jika ia meninggal. Disamping itu hukum
warisan mengatur akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan
seseorang.
Daftar Pustaka
HUKUM
PERIKATAN
1.
Definisi
hukum perikatan
Perikatan
dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum
dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ;
hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat
itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang.
Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang.
Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah
yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang
mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk
undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’.
Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain
itu disebut hubungan hukum.
Jika
dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta
kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas
sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta
kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian
atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat
diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law
of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam
bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi(pers
onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Beberapa
sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo
memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta
kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak
(kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.
Pengertian perikatan menurut Hofmann
adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum
sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau
pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah
perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang
dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum
antara dua pihak yang isinya adalah hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan
tersebut.
Hukum
perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan
antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan
pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini
merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa
hukum lain yang menimbulkan perikatan.
Menurut
ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan
dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang
satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
2. Dasar
Hukum Perikatan
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut.
a. Perikatan yang timbul dari
persetujuan (perjanjian).
b.
Perikatan
yang timbul undang-undang.
Perikatan yang berasal dari
undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan
perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan
yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet
allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten
gevolge van’s mensen toedoen)
a)
Perikatan
terjadi karena undang-undang semata
Perikatan
yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku
III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi
antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai
hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang
berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di
atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral
dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah
wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka
hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.
b)
Perikatan
terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
c)
Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).
3.
Azas-Azas
Dalam Hukum Perikatan
Asas-asas
dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas
kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
a. Asas
Kebebasan Berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b. Asas
Konsensualisme
Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan
dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1)
Kata
Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak
yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling
setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan
tersebut.
2)
Cakap
untuk Membuat Suatu Perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut
hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3)
Mengenai
Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan
diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau
keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak,
sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
4)
Suatu
sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus
mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan,
atau ketertiban umum
4.
Hapusnya Perikatan
Perikatan
itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH
Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai
berikut :
1)
Karena
Pembayaran
Pembayaran, adalah pelunasan
utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini dilakukan dalam
bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam arti yuridis
tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa seperti jasa
dokter, guru privat dan lain-lain.
Yang dimaksud oleh undang – undang
dengan perkataan “pembayaran” ialah pelaksanaan pemenuhan tiap perjanjian
sukarela, artinya tidak dengan paksaan atau eksekusi.
Pihak yang wajib membayar yaitu
:
a.
Debitur
b.
Seorang
pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, melainkan orang ketiga tersebut
bertindak atas nama untuk melunasi utangnya debitur atau pihak ketiga yang
bertindak atas namanya sendiri.
2)
Karena
Penawaran Pembayaran Tunai, Diikuti Dengan Penyimpanan Atau Penitipan;
Undang – undang memberikan
kemungkinan kepada debitur yang tidak dapat melunasi utannya karena tidak
mendapatkan bantuan dari kreditur, untuk membayar hutangnya denganjalan
penawaran pembayaran yang dikuti dengan penitipan. Penawaran pembayaran di
ikuti dengan penitipan hanya dimungkinkan pada perikatan untuk membayar
sejumlah uang atau menyerahkan barang – barang bergerak.
Apabila penawaran pembayaran tidak
diterima, debitur dapat menitipkan apa yang ia tawarkan.
3)
Karena
Pembaruan Utang;
Pembaharuan utang atau
Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan
dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai
pengganti perikatan semula.
4)
Karena
Perjumpaan Utang Atau Kompensasi;
Kompensasi adalah penghapusan
masing-masing utang dengan jalan saling memperhitungkan utang yang sudah dapat
ditagih antara kreditur dan debitur (vide: Pasal 1425 BW).
5)
Karena
Percampuran Utang;
Percampuran Utang atau
Konfusio adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan
kedudukan sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya si debitur dalam suatu
testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin
dengan krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.
6)
Karena
Pembebasan Utang;
Pembebasan
hutang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskaan
haknya untuk menagih piutangnya dari kreditur. Pembebasan hutang tidak
mempunyai bentuk tertentu melainkan adanya persetujuan dari kreditur.
7)
Karena
Musnahnya Barang Yang Terutang;
Jika barang tertentu yang menjadi
objek dari perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan atau hilang
sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka
hapuslah perikatannya asal barang tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si
berhutang dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Bahkan juga meskipun debitur itu
lalai menyerahkan barang itu (terlambat),iapun akan bebas dari perikatan
apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu
kejadian diluar kekuasaannya dan bahwa barang tersebut juga akan menemui nasib
yang sama meskipun sudah berada di tangan kreditur.
Apabila si berhutang , dengan
terjadinya peristiwa-peristiwa seperti di atas telah dibebaskan dari perikatannya
terhadap krediturnya , maka ia diwajibkan menyerahkan kepada kreditur itu
segala hak yang mungkin dapat dilakukannya terhadap orang-orang pihak ketiga
sebagai pemilik barang yang telah hapus atau hilang itu.
8)
Karena
Kebatalan Atau Pembatalan;
Meskipun disini disebutkan kebatalan
dan pembatalan, tetapi yang benar adalah “pembatalan” saja, dan memang kalau
kita melihat apa yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya dari Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata ,ternyatalah bahwa ketentuan-ketentuan disitu
kesemuanya mengenai “pembatalan”. Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka
tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu
yang tidak ada suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang
sesuatu yang tidak ada tentu saja tidak dihapus.
Yang diatur oleh pasal 1446 dan
selanjutnya adalah pembatalan perjanijan-perjanjian yang dapat dimintakan
pembatalan (vernietigbaar atau voidable) sebagaimana yang sudah kita lihat pada
waktu kita membicarakan tentang syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah
(Pasal 1320)
Meminta pembatalan perjanjian yang
kekurangan syarat subyektifnya itu dapat dilakukan dengan dua cara: pertama
,secara aktif menurut pembatalan perjanjian yang demikian itu dimuka hakim.
Kedua, secara pembelaan yaitu menunggu sampai digugat di muka hakim untuk
memenuhi perjanjian dan sisitulah baru memajukan tentang kekurangannya
perjanjian itu.
9)
Karena
Berlakunya Suatu Syarat Pembatalan, Yang Diatur Dalam Bab I Buku Ini;Dan
Perikatan bersyarat itu adalah suatu
perikatan yang nasibnya digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan
datang dan masih belum tentu akan terjadi,baik secara menangguhkan
lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa tadi, atau secara membatalkan
perikatan menurut terjadi tidak terjadinya peristiwa tersebut.
Dalam hal yang pertama, perikatan
dilahirkan hanya apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Dalam hal yang
kedua suatu perikatan yang sudah dilahirkan justru akan berakhir dibatalkan
apabila peristiwa yang termaksud itu terjadi. Perikatan semacam yang terakhir
itu dinamakan suatu perikatan denagn suatu syarat batal.
Dalam hukum perjanjian pada azasnya
syarat batal selamanya berlaku surut hingga saat lahirnya perjanjian. Suatu
syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan
perjanjiannya dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula
seolah-olah tidak pernah ada suatu perjanjian,demikianlah pasal 1265 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan demikian maka syarat batal itu mewajibkan
si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila
peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
10)
Karena
Lewat Waktu, Yang Akan Diatur Dalam Suatu Bab Sendiri.
Menurut pasal 1946 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, yang dinamakan “daluwarsa” atau “lewat waktu”
ialah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang daluwarsa untuk memperoleh hak milik atas suatu
barang dinamakan daluwarsa “acquisitip” sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan
dari suatu perikatan (Atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extinctip”.
Daluwarsa dari macam yang pertama tadi sebaiknya dibicarakan berhubungan dengan
hukum benda. Daluwarsa dari macam yang kedua dapat sekedarnya dibicarakan di
sini meskipun masalah daluwarasa itu suatu masalah yang memerlukan pembicaraan
tersendiri. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata masalah daluwarsa itu
diatur dalam Buku IV bersama-sama dengans oal pembuktian.
Menurut pasal 1967 maka segala
tuntutan hukum, baik yang bersifat kebendaan maupun yang bersifat perseorangan
, hapus karena daluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun,sedangkan siapa yang
menunjukan akan adanya daluwarsa itu tidak usah mempertunjukkan suatu atas hak,
lagi pula tak dapat dimajukan terhadapnya sesuatu tangkisan yang didasarkan
kepada itikadnya yang buruk.
Dengan lewatnya waktu tersebut di
atas hapuslah setiap perikatan hukum dan tinggal pada suatu “perikatan bebas”
(natuurlijke verbintenis) artinya kalau dibayarkan boleh tetapi tidak dapat
dituntut di muka hakim. Debitur jika ditagih hutangnya atau dituntut di muka
pengadilan dapat memajukan tangkisan (eksepsi)tentang kadaluwarsanya piutang
dan dengan demikian mengelakkan atau menangkis setiap tuntutan.
Daftar Pustaka
HUKUM
PERJANJIAN
1. Standar
Kontrak
Istilah perjanjian baku berasal dari
terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak
merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk
formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak,
terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir
Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak
dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate)
dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini
ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan
data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya
dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau
hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang
sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku
sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan
adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak
seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks,
suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi
suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi
lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeperburuk.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang
dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang
merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan
hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia, yaitu:
A. Pasal 6.5.
1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai
berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana
aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah
dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian
yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur
dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan
aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan
raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau
dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap
syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika
pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan
menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
B. Pasal 2.19
sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International
Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip
hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan
prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak
diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT
menentukan sebagai berikut:
Apabila salah satu pihak atau kedua
belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum
tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan
yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan
berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi
dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
1) Tunduknya
salah satu pihak terhadap kontrak baku
2) Pengertian
kontrak baku.
C. Pasal
2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam
persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh
suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu
persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi
bahasa, dan penyajiannya.
D. Pasal 2.21
berbunyi
Dalam hal
timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar,
persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
E. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan
persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk
beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian
yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki
kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas
atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa
hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
F. UU No 10
Tahun 1988
tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan.
G. UU No. 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan
tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis
kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah
pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk
melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk
kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua
belah pihak yang membuatnya.
Macam-macam
kontrak
Tentang jenis-jenis kontrak KUHP tidak
secara khusus mengaturnya. Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan
kedalam kontrak timbal balik atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau
kontrak tanpa beban atau kontrak cuma-cuma.
Kontrak timbal balik merupakan
perjanjian yang didalamnya masing-masing pihak menyandang status sebagai berhak
dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan debitur secara timbal balik,
kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak lainnya adalah sebagai debitur,
begitu juga sebaliknya.
Kontrak sepihak merupakan perjanjian
yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak pada yang
lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian pemberian kuasa dengan
cuma-cuma, perjanjian pinjam pakai cuma-cuma, perjanjian pinjam pengganti
cuma-cuma, dan penitipan barang dengan cuma-cuma.
Arti penting pembedaan tersebut
ialah :
Berkaitan dengan aturan resiko, pada
perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur, sedangkan pada perjanjian
timbal balik resiko ada pada debitur, kecuali pada perjanjian jual beli.
Berkaitan dengan perjanjian syarat
batal, pada perjanjian timbal balik selalu dipersengketakan.
Jika suatu perjanjian timbal balik
saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak dipenuhi
seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir BHP.
Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan
perjanjian tersebut.
Kontrak menurut namanya dibedakan
menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak nominat, dan kontrak tidak
bernama atau kontrak innominat. Dalam buku III KUHP tercantum bahwa kontrak
bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa-menyewa, hibah, penitipan
barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberian kuasa, penanggungan utang,
perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak bernama adalah
kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat. Jenis kontrak ini
belum tercantum dalam kitab undang-undang hukum perdata. Yang termasuk dalam
kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise, kontrak rahim,
joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak menurut bentuknya dibedakan
menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak lisan adalah kontrak yang
dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan. Kontrak-kontrak yang
terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya merupakan kontrak lisan,
kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu kontrak hibah yang harus
dilakukan dengan akta notaris.
Kontrak tertulis adalah kontrak yang
dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat oleh para pihak sendiri atau
dibuat oleh pejabat, misalnya notaris. Didalam kontrak tertulis kesepakatan
lisan sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan
dalam tulisan.
2. MACAM –
MACAM PERJANJIAN
Macam-macam perjanjian obligator
ialah sebagai berikut:
A. Perjanjian
dengan cumua-Cuma dan perjanjian dengan beban.
1) Perjanjian
dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu
keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
(Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata).
2) Perjanjian
dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu
keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya
sendiri.
B. Perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik.
1) Perjanjian
sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu
pihak saja.
2) Perjanjian
timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua
belah pihak.
C. Perjanjian
konsensuil, formal dan riil.
1) Perjanjian
konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua
belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
2) Perjanjian
formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu,
yaitu dengan cara tertulis.
3) Perjanjian
riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus
diserahkan.
D. Perjanjian
bernama, tidak bernama, dan campuran.
1) Perjanjian
bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan
ketentuan-ketentuan khusus yaitu dalam Bab V sampai bab XIII KUHerdata ditambah
titel VIIA.
2) Perjanjian
tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
3) Perjanjian
campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di
kualifikasikan.
3. Syarat
Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian
diperlukan empat syarat menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
a. Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
b. Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian
c. Suatu hal
tertentu
d. Suatu sebab
yang halal
Dua syarat yang pertama dinamakan
syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang
mengadakan perjanjian, sedanngkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat
obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan
hukum yang dilakukan.
Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat
suatu perjanjian:
1) Orang-orang
yang belum dewasa
2) Mereka yang
ditaruh di bawah pengampunan
3) Orang-orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang dan pada umumnya
semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat
perjanjian-perjanjian tertentu.
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian,
memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata).
4. Saat
Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, suatu
pejanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua
belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian.
Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut.
Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh
pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik.
Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Karena suatu perjanjian dilahirkan
pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik
diterimanya penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang,
perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan
penawaran menerima jawaban yang termaksud dalam surat tersebut, sebab saat
itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat. Karena perjanjian sudah dilahirkan
maka tak daapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan.
5. Pembatalan
Dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Pembatalaan
Suatu Perjanjian
Apabila dalam suatu syarat obyektif
tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void).
Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu
perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud
membuat perjanjian itu.
Apabila pada waktu pembuatan
perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyktif, maka perjanjian itu
bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya oleh salah
satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta
orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah cakap), dan pihak
yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Dalam hukum perjanjian ada tiga
sebab yang membuat perjanjian tidak bebas, yaitu:
1) Paksaan adalah
pemaksaan rohani atau jiwa, jadi bukan paksaan badan atau fisik. Misalnya salah
satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu
perjanjian.
2) Kekhilafan
atau Kekeliruanterjadi apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal yang
pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari
barang yang menjadi obyek dari perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa
diadakan perjanjian itu.
3) Penipuan terjadi
apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu
atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik, untuk membujuk pihak
lawannya memberikan perjanjiaannya. Pihak yang menipu itu bertindak secara
aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan
diganti dulu merknya, nomor mesinnya dipalsu dan lain sebagainya.
Pelaksanaan
Suatu Perjanjian
Suatu perjanjian adalah suatu
peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain, atau di mana orang saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang
dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-perjanjian dibagi dalam tiga
macam yaitu:
1) Perjanjian
untuk memberikan menyerahkan barang
2) Perjanjian
untuk bebuat sesuatu
3) Perjanjian
untuk tidak berbuat sesuatu
Kitab Undang-undang Hukum Perdata
memberikan sekedar petunjuk, ialah persoalan apakah suatu perjanjian mungkin
dieksekusi (dilaksanakan) secara riil. Petunjuk itu kita dapatkan dalam
pasal-pasal 1240-1241.
Dalam hal penafsiran perjanjian ini
pedoman utama ialah: kata-kata suatu perjanjian jelas, maka tidaklah
diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran.
Pedoman-pedoman lain yang penting
dalam menafsirkan suatu perjanjian adalah:
1) jika
kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka
harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian
itu dari pada memegang teguh arti kata-kata menurut huruf.
2) Jika sesuatu
janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya pengertian
yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan daripada memberikan
pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
3) Jika
kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih pengertian
yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
4) Apa yang
meragukan harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di negeri atau
di tempat di mana perjanjian telah diadakan.
5) Semua janji
harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus ditafsirkan
dalam rangka perjanjian seluruhnya.
6) Jika ada
keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kerugian orang yang
elah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan, untuk keuntungan orang yang
telah mengikatkan dirinya untuk itu.
Daftar Pustaka:
Katuuk,
Neltje F. Februari 1994. Aspek Hukum Dalam Bisnis. Jakarta: Universitas
Gunadarma.
3 CONTOH KASUS
HUKUM PERDATA
SLEMAN– Selasa, 17 November 2011 Pengadilan
Negeri (PN) Sleman akhirnya mengeksekusi tanah milik Juminten di Dusun
Pesanggrahan, Desa Pakembinangun,Kecamatan Pakem, Sleman.
Sempat terjadi ketegangan saat proses eksekusi
yang melibatkan puluhan aparat kepolisian ini, tapi tidak terjadi tindakan
anarkistis. Saat proses eksekusi tanah tersebut,PN Sleman membawa sebuah truk
untuk mengangkut barang-barang pemilik rumah serta backhoeuntuk menghancurkan
rumah yang tampak baru berdiri di atas tanah seluas 647 meter persegi. ”Kami
hanya melaksanakan perintah atasan,” kata Juru Sita PN Sleman Sumartoyo
kemarin.
Lokasi tanah yang berada di pinggir Jalan
Kaliurang Km 17 ini merupakan tanah sengketa antara Juminten dengan Susilowati
Rudi Sukarno sebagai pemohon eksekusi. Kasus hukum yang telah
berjalanselamatujuh tahun ini berawal dari masalah utang piutang yang dilakukan
oleh kedua belah pihak, utang yang dimaksud disini adalah juminten berhutang
tentang pembuatan sertifikat tanah serta tidak mau mengganti rugi uang yang
sudah diberi oleh susilowati .
Klien kami telah membeli tanah ini dan juga
sebidang tanah milik Ibu Juminten lainnya di daerah Jalan Kaliurang Km 15
seharga Rp335 juta.Total tanah ada 997 meter persegi.Masalahnya berawal saat
termohon tidak mau diajak ke notaris untuk menandatangani akta jual beli,
padahal klien kami sudah membayar lunas,” papar Titiek Danumiharjo,
kuasa hukum Susilowati Rudi Sukarno. Kasus ini sebenarnya telah sampai tingkat
kasasi, bahkan peninjauan ulang. Dari semua tahap,Susilowati Rudi Sukarno
selalu memenangkan perkara.
Pihak Juminten yang tidak terima karena merasa
tidak pernah menjual tanah milik mereka, berencana menuntut balik dengan
tuduhan penipuan dan pemalsuan dokumen. ”Kami merasa tertipu, surat bukti jual
beli palsu,”tandas L Suparyono, anak kelima Juminten.
Analisa
Hukum perdata adalah ketentuan hukum materil yang mengatur
hubungan antara orang/individu yang satu dengan yang lain. Hukum perdata berisi
tentang hukum orang, hukum keluarga, hukum waris dan hukum harta kekayaan yang
meliputi hukum benda dan hukum perikatan.
Kasus diatas termasuk kasus perdata khususnya perikatan karena
telah terjadi persetujuan antara Juminten dengan Susilowati dalam hal jual-beli
tanah. Dalam hukum perdata peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai hukum
perikatan adalah jka terjadi suatu ikatan persetujuan antara 2 pihak yang
melahirkan hak dan kewajiban diantara keduanya dalam lingkup hukum kekayaan.
Tetapi dalam kasus diatas telah terjadi suatu sengketa tanah
antara Juminten dan Susilowati. Sengketa ini berawal dari utang piutang yang
mana Juminten berhutang tentang pembuatan sertifikat tanah serta tidak mau
mengganti rugi uang yang sudah diberi oleh Susilowati. Dalam kasus ini,
Juminten dianggap merugikan Susilowati, karena sudah dianggap menipu berupa
tidak maunya Juminten membuat akta sertifikat tanah dan dari itu pula Juminten
tidak mau mengganti dengan uang, karena Juminten beranggapan tidak pernah
menjual tanah miliknya kepada Susilowati, padahal penyimpanan atau pendaftaran
tanah itu wajib demi terlaksanakannya kepastian hukum. Sehingga Juminten
dianggap ingkar janji (wanprestasi) atau tidaak memenuhi perikatan tersebut.
Dalam KUH Perdata pasal 1366 berbunyi “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatanya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang
hati-hatinya”. Disini jelaslah bahwa Juminten melanggar UU tersebut.
Solusi
Menurut saya, solusi dari permasalahan ini agar pihak Juminten
segera membayar tentang hutangnya dalam pembuatan sertifikat tanah terhadap
Susilowati dan mebyar ganti rugi uang yang sudah diberi oleh Susilowati agar
permasalahn ini cepat terselesaikan. Karena dalam permasalahan ini pihak
juminten lah yang bersalah yang tercantum jelas dalam KUH perdata 1366, dan
disini pihak Juminten sudah ingkar janji dan tidak memenuhi perjanjian bersama.
Saran untuk Juminten agar segera mengembalikan yang sudah disetujui bersama
Susilowati jika ingin permasalahan ini cepet terselesaikan.
Sumber
Sengketa tanah meruya selatan (jakarta barat) antara warga
(H. Djuhri bin H. Geni, Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono) dengan
PT.Portanigra pada tahun 1972 – 1973 dan pada putusan MA dimenangkan oleh PT.
Portanigra. Tetapi proses eksekusi tanah dilakukan baru tahun 2007 yang hak
atas tanahnya sudah milik warga sekarang tinggal di meruya yang sudah mempunyai
sertifikat tanah asli seperti girik. Kasus sengketa tanah meruya ini tidak
luput dari pemberitaan media hingga DPR pun turun tangan dalam masalah ini.
Selama ini warga meruya yang menempati tanah meruya sekarang tidak merasa punya
sengketa dengan pihak manapun. Bahkan tidak juga membeli tanah dari PT
Portanigra,namun tiba-tiba saja kawasan itu yang ditempati hampir 5000 kepala
keluarga atau sekitar 21.000 warga akan dieksekusi berdasarkan putusan MA.
Tidak hanya tanah milik warga, tanah milk negara yang di atasnya terdapat
fasilitas umum dan fasilitas sosialpun masuk dalam rencana eksekusi.
Hal ini dikarenakan sengketa yang terjadi 30 tahun lalu,
tetapi baru dilakukan eksekusinya tahun 2007, dimana warga meruya sekarang
mempunyai sertifikat tanah asli yang dikeluarkan pemerintah daerah dan Badan
Pertanahan Nasional (BPN). Disini terbukti adanya ketidaksinkronan dan
kesemrawutan hukum pertanahan indonesia yang dengan mudahnya mengeluarkan sertifikat
tanah yang masih bersengketa. Kasus sengketa tanah ini berawal pada kasus
penjualan tanah meruya dulu antara PT. Portanigra dan H Djuhri cs berawal dari
jual beli tanah tanah seluas 44 Ha pada 1972 dan 1973. Ternyata H Djuhri cs
ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak lain sehingga mereka
dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara perdata (1996). Sengketa tanah
yang dimulai sejak lebih dari 30 tahun yang lampau bukanlah kurun waktu
singkat. Selama itu sudah banyak yang berubah dan berkembang, baik penghuni,
lingkungan sekitar, institusi terkait yang menangani, pasti personelnya sudah
silih berganti. Warga merasa memiliki hak dan ataupun kewenangan atas tanah
meruya tersebut.
Mereka merasa telah menjalankan tugas dengan baik seperti
membayar PBB atas kepemilikannya dan tidak mau disalahkan, tidak ingin
kehilangan hak miliknya. Situasi dan kondisi lapangan pada 1972 tentunya
berbeda sama sekali dengan sekarang. Cara-cara melakukan penilaian dan
mengambil langkah-langkah penindakan 30 tahun yang lalu pada saat ini telah
banyak berubah. Paradigma masa lalu bahwa warga banyak yang belum memiliki
sertifikat akan berhadapan dengan program sertifikasi yang memberi kemudahan
dalam memperoleh sertifikat tanah. Dalam hal ini terlihat kesemrawutan hukum
pertanahan oleh aparat pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Tanah (BPN) yang
bisa menerbitkan sertifikat pada tanah yang masih bersengketa. Selain itu, PT.
Portanigra yang tidak serius dalam kasus sengketa tanah ini. PT. Portanigra
yang menang dalam putusan MA pada tahun 1996 tidak langsung mengeksekusi
tanahnya, baru 11 tahun kemudian yakni tahun 2007 baru melaksanakan eksekusi
tanahnya yang lahan sudah di tempati warga meruya sekarang dengan sertifikat
tanah asli. Dengan kata lain di sengketa meruya ada mafia tanah yang terlibat.
ANALISIS:
Hukum perdata adalah ketentuan hukum materil yang mengatur
hubungan antara orang/individu yang satu dengan yang lain. Hukum perdata berisi
tentang hukum orang, hukum keluarga, hukum waris dan hukum harta kekayaan yang
meliputi hukum benda dan hukum perikatan
Kasus diatas termasuk dalam kasus perdata Karena telah
terjadi persetujuaan antara pihak PT. Portanigra dengan pihak H. Djuhri
bin H. Geni, Yahya bin H. Geni, dan Muh.Yatim Tugono dalam hal jual beli tanah.
Di dalam hukum perdata peristiwa yang dapat dikategorikan sebagai hukum
peedata adalah jka terjadi suatu ikatan persetujuan antara 2 pihak yang
menyetujui antara hak dan kewajiban diantara keduanya dalam lingkup hukum
kekayaan.
Tetapi dalam kasus diatas telah terjadi suatu sengketa tanah
antara PT. Portanigra dengan H. Djuhri dan Muh. Yatim Tugono. Sengketa ini
berawal dari penjualan tanah meruya dulu antara PT. Portanigra dan H
Djuhri cs berawal dari jual beli tanah tanah seluas 44 Ha pada 1972 dan 1973.
Ternyata H Djuhri cs ingkar janji dengan menjual lagi tanahnya kepada pihak
lain sehingga mereka dituntut secara pidana (1984) dan digugat secara perdata
(1996)
Dalam KUH Perdata pasal 1366 berbunyi “Setiap orang
bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena perbuatanya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang
hati-hatinya”. Disini jelaslah bahwa Juminten melanggar UU tersebut.
SOLUSI:
Menurut
saya solusi dari permasalahan diatas ialah Pihak PT. Portanigra
bernegoisasi dengan warga bahwa PT. Portanigra mengikhlaskan tanahnya kepada
warga sebelum tahun 1997 yang memiliki sertifikat tanah asli. Warga yang
menampati tanahnya tahun 1997 keatas tidak bisa diukur kecuali mereka mempunyai
surat jual-beli tanah dengan pemilik sebelumnya.pengadilan juga telah
memutuskan bahwa PT. Portanigra hanya bisa mengelola lahan kosong sehingga
tidak menggangu warga dan kampus Mercu Buana, sedangkan Meruya Residence lebih
tenang karena sudah membeli langsung hak kepemilikan tanah ke PortaNigra.
Sumber:
Sidang Rebutan Warisan Adi Firansyah
indosiar.com, Jakarta - Kasus rebutan warisan almarhum Adi Firansyah
akhirnya bergulis ke Pengadilan. Sidang pertama perkara ini telah digelar Kamis
(12/04) kemarin di Pengadilan Agama Bekasi. Warisan pesinetron muda yang
meninggal akibat kecelakaan sepeda motor ini, menjadi sengketa antara Ibunda
almarhum dengan Nielsa Lubis, mantan istri Adi.
Nielsa
menuntut agar harta peninggalan Adi segera dibagi. Nielsa beralasan Ia hanya
memperjuangkan hak Chavia, putri hasil perkawinannya dengan Adi. Sementara
Ibunda Adi mengatakan pada dasarnya pihaknya tidak keberatan dengan pembagian
harta almarhum anaknya. Namun mengenai rumah yang berada di Cikunir Bekasi, pihaknya
berkeras tidak akan menjual, menunggu Chavia besar.
Menurut
Nielsa Lubis, Mantan Istri Alm Adi Firansyah, "Saya menginginkan
penyelesaiannya secara damai dan untuk pembagian warisan toh nantinya juga buat
Chavia. Kita sudah coba secara kekeluargaan tapi tidak ada solusinya."
Menurut
Ny Jenny Nuraeni, Ibunda Alm Adi Firansyah, "Kalau pembagian pasti juga
dikasih untuk Nielsa dan Chavia. Pembagian untuk Chavia 50% dan di notaris
harus ada tulisan untuk saya, Nielsa dan Chavia. Rumah itu tidak akan dijual
menunggu Chavia kalau sudah besar."
Terlepas
dari memperjuangkan hak, namun mencuatnya masalah ini mengundang keprihatinan.
Karena ribut-ribut mengenai harta warisan rasanya memalukan. Selain itu, sangat
di sayangkan jika gara-gara persoalan ini hubungan keluarga almarhum dengan
Nielsa jadi tambang meruncing.
Sebelum
ini pun mereka sudah tidak terjalin komunikasi. Semestinya hubungan baik harus
terus dijaga, sekalipun Adi dan Nielsa sudah bercerai, karena hal ini dapat
berpengaruh pada perkembangan psikologis Chavia.
"Saya
tidak pernah komunikasi semenjak cerai dan mertua saya tidak pernah
berkomunikasi dengan Chavia (jaranglah)", ujar Nielsa Lubis.
"Bagaimana
juga saya khan masih mertuanya dan saya kecewa berat dengan dia. Saya siap akan
mengasih untuk haknya Chavia", ujar Ny Jenny Nuraeni. (Aozora/Devi)
Solusi:
Dikasus
ini, yang meninggalkan harta warisan adalah almarhum mantan suami yang menjadi
rebutan antara sang ibu almarhum dengan mantan istri almarhum, dan almarhum
telah memiliki anak dari mantan istrinya.
Untuk
status rumah yang ditinggalkan oleh almarhum, tergantung kapan almarhum
memiliki rumah tersebut, jika almarhum sudah memilikinya sejak masih bersama
mantan istri maka status rumah merupakan harta bersama atau harta gono gini yang
diperoleh dari almarhum saat masih bersama mantan istrinya. Hal ini sesuai
dengan pengertian harta bersama menurut ketentuan pasal 35 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) yang menyatakan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Dan
Apabila terjadi suatu perceraian, maka pembagian harta bersama diatur menurut
hukum masing masing (pasal 37 UUP). Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing
ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lainnya.
Mengenai
harta benda dalam perkawinan, pengaturan ada di dalam pasal 35 UUP dan
dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Harta
bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan dan dikuasai oleh
suami dan istri dalam artian bahwa suami atau istri dapat bertindak terhadap
harta bersama atas persetujuan kedua belah pihak. Apabila perkawinan putus
karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang
dimaksud "hukumnya" masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan
hukum-hukum lain (pasal 37 UUP).
2. Harta
bawaan, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ketika
terjadi perkawinan dan dikuasai oleh masing-masing pemiliknya yaitu suami atau
istri. Masing-masing atau istri berhak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya (pasal 36 ayat 2 UUP). Tetapi apabila pihak suami
dan istri menentukan lain, misalnya dengan perjanjian perkawinan, maka
penguasaan harta bawaan dilakukan sesuai dengan isi perjanjian itu. Demikian
juga apabila terjadi perceraian, harta bawaan dikuasai dan dibawa oleh
masing-masing pemiliknya, kecuali jika ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan.
3. Harta
perolehan, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami dan istri
sebagai hadiah atau warisan dan penguasaannya pada dasarnya seperti harta
bawaan.
Berdasarkan
uraian di atas apabila dikaitkan dengan kasus diatas maka mantan istri almarhum
mempunyai hak atau berhak atas harta yang diperoleh selama perkawinan
berlangsung tanpa melihat alasan-alasan yang diajukan dan harta tersebut
disebut harta bersama.
Mengenai
hibah terhadap anak dapat saja dilakukan tetapi tanpa penghibahan pun seorang
anak secara otomatis sudah menjadi ahli waris dari kedua orang tuanya. Hibah
dapat dilakukan jika tidak merugikan apa yang menjadi hak dari ahli waris,
disamping itu mantan istri almarhum juga berhak atas harta warisan tersebut.
Komentar
Posting Komentar